CERPEN : Seandainya Saja...



Alhamdulillah.. Diantara banyak yang saya coba untuk tulis, baru ini yang bisa selesai sampai akhir. Terima kasih teman-teman HIMAWARY, untuk tanggung jawab yang diberikan, tulisan ini tidak akan ada jika tidak ada dorongan dari kalian. Saya bukan seorang mahasiswi sastra yang pandai menulis, ini hanya salah satu hoby saya, mohon maaf jika tulisan ini masih jauh dari sempurna. Terima kasih juga untuk cast Alvin, karena Anda tulisan ini ada. Tidak lupa juga untuk pengunjung blog ini, terima kasih dan selamat membaca :)

  SEANDAINYA SAJA 
 ( By : इना )

Tetesan air mulai berjatuhan mengikuti datangnya langit yang tadinya berkabut mendung. Beberapa pasang kaki mulai berlarian mencari tempat untuk berteduh. Aku mulai melangkahkan kaki menuju teras, mendekati tetesan air hujan dari atap kampus. Aku menjulurkan tangan ke tetesan air tersebut dan mulai tersenyum saat rasa dingin mulai menjalar melalui saraf-saraf yang ada di tanganku. Tidak akan ada yang heran melihatku seperti ini, karena mereka mengenalku sebagai Nayla si pengagum hujan.
Hujan selalu bisa membuatku tersenyum, merasakan kedamaian, dan mengingat seseorang yang pernah sangat kusayangi. Ya, seseorang yang mengajariku tentang folosofi hujan. Aku masih sangat mengingat kata-katanya, setahun yang lalu sambil menjurlukan tangannya ke tetesan air hujan dari atap tempat kami berteduh, “Lihat deh, Nay.. betapa hujan sangat indah. Hujan turun mengikuti gravitasi, mengalir dari tempat yang tinggi ke yang lebih rendah, hingga menguap dan kembali berkumpul di awan. Sama seperti hidup, kita selalu bergerak entah naik atau turun, tak pernah berhenti. Dari atas, terjatuh,  dan akhirnya terbang kembali. Dan yang menarik dari hujan adalah hujan selalu mau kembali meskipun terjatuh berkali-kali.” Aku melihat Mas Alvin tersenyum, kemudian tangannya menarik tanganku untuk ku julurkan ke tetesan air hujan. Sambil merasakan dinginnya air hujan, mataku terpejam dan akupun mulai tersenyum. Ah, seandainya saja Mas Alvin masih di sini.
***
            Seorang kakak kelas yang pernah kukagumi ketika pertama kali memakai seragam putih biru. Dan siapa sangka takdir memberiku kesempatan untuk  mengenalnya lebih dekat dimasa putih abu-abu, hingga aku bisa merasakan perasaan aneh yang disebut cinta. Sosok yang tinggi tegap terlihat berdiri memunggungiku. Sosok yang tidak bisa diam, dengan tingkah-tingkah konyolnya selalu bisa membuatku ketawa. Sosok yang selalu membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat ketika bersamanya. Juga sosok yang paling bisa menciptakan hujan, pelangi, dan kemudian hujan lagi di hatiku. Ya, dia sangat berarti di hidupku. Setelah kelulusannya, dia pergi keluar kota untuk memenuhi  panggilan kerja di Surabaya, meninggalkanku juga keluarganya. Dan jarak selalu berhasil membuatku tersiksa karena rindu. Berat memang, tetapi apa yang aku rasakan jauh lebih besar daripada hanya sekedar jarak yang memisahkan.
            Saat sedang duduk bersama, dia memulai pembicaraannya, “Nay, kalau nanti aku pergi lebih dulu, kamu ga boleh sedih ya..” ucapnya sambil menatap mataku dengan sangat dalam. Deg.. hatiku tersentak, rasa sesak mulai memenuhi dadaku. Dengan mata yang  mulai mendung aku menjawab, “Kenapa ngomong gitu? Aku gasuka. Tolong jangan ulangi lagi.” Gerimis mulai berjatuhan dari mataku. “Gapapa, Nay. Hanya saja akhir-akhir ini dadaku sering sakit. Aku takut suatu saat aku harus ninggalin kamu.” Ucapnya sekali lagi yang semakin membuat aliran deras dari mataku. “Kamu kenapa, Mas? Kita ke dokter aja ya.. aku gamau kamu kenapa-kenapa?” Aku semakin ketakutan, kemudian dia menggenggam tanganku, “Tidak, Nay. Aku gamau bikin orang kawatir. Lihat, baru aku bilang gini aja kamu udah segitu paniknya. Hey, lihat aku, aku baik-baik saja kan.” Ujarnya sambil tersenyum, berusaha membuatku tenang. Dia bisa mengatakan dirinya baik-baik saja, tapi aku tidak akan melupakan apa yang dia katakan begitu saja. Dia berusaha menghiburku dan menghapus air mataku, “Nayla, udahan dong  nagisnya, cup.. cupp.. kamu masih sama aja yaa..” ucapnya dengan senyuman yang tidak asing bagiku. “Sama gimana??” tanyaku sambil mengerutkan alis. “Masih sama, tetep aja cengeng, kayak anak kecil.” Jawabnya yang kemudian diikuti ketawanya yang mengejek itu. Aku langsung memasang muka cemberut. Kemudian wajahnya mulai serius dan dia berkata, “Maaf, sayang. Makanya udahan nagisnya, dengerin aku yaa.. bukankah hujan dan pelangi itu datangnya sepaket, begitu juga kebahagiaan dan kesedihan yang juga sepaket. Bener kan?” Aku hanya mengangguk yang menandakan setuju. Ya itulah dia, paling bisa bikin aku sedih, tapi dia juga yang paling bisa menyembuhkannya.
            Hari demi hari berlalu. Aku yang semakin takut kehilangan dia, menjadi sangat protective dari biasanya, mengingatkan waktu makan, istirahat,  bagaimana dia seharunya bekerja, hingga hal-hal kecil lainnya. Tetapi aku merasakan Mas Alvin yang semakin dingin sikapnya, juga jarang memberiku kabar. Setiap aku bertanya kenapa, jawabannya selalu sama, “Aku gapapa.” Bahkan anniversary kitapun dia lupakan begitu saja. Entahlah...
            Sampai suatu hari, setelah beberapa hari aku tidak mendapatkan kabar darinya, ponselku bergetar dan ternyata sebuah pesan darinya, “Nay, maaf ya aku gabisa selalu ada untuk kamu. Apa yang akan terjadi pada kita selanjutnya aku sudah serahkan pada Allah. Kamu bebas, Nay untuk bahagia dengan cowok lain, tentunya yang lebih baik dari aku.” Deg. Rasanya jantungku berhenti untuk berdetak. Apa ini, Tuhan? Apa  dia benar menginginkan perpisahan? Setelah semua yang terjadi selama ini? Bulir-bulir air mata sontak membasahi pipiku. Tetapi aku tidak ingin terlihat lemah didepannya. Jika memang ini bisa membuat dia senang, aku harus belajar untuk mengikhlaskannya. Aku mulai mengetik huruf demi huruf dengan berat hati, “Baiklah, Mas kalo memang itu sudah menjadi keputusanmu. Semoga kamu bahagia.”
            Sebulan berlalu setelah kepergiannya dari hidupku. Aku sama sekali tidak mengetahui bagaimana kabarnya. Aku coba membuka facebook dan instagramnya, tapi hasinya nihil, tidak ada kiriman setelah aku dan dia berpisah. He’s gone.
Hari ini adalah hari ulang tahunku, 20 tahun, aku pikir akan lebih spesial dari yang dulu-dulu. Tapi aku salah, bahkan orang yang selalu mengucapakan pertama kali sejak 2 tahun terakhir, kini ucapan tengah malamnya tidak lagi muncul dibarisan pesanku. Sedikit kecewa, tapi aku kembali tersadar kalau dia bukan milikku lagi, dia tidak memiliki kewajiban meski hanya untuk memberiku ucapan selamat ulang tahun. Siang hari aku baru sempat membuka ponsel, tercatat 2 missed call dan 1 pesan, ternyata dari Mas Alvin. Aku langsung membukanya, “Selamat ulang tahun, Nayla. Maaf ya aku belum bisa ngasih apa-apa buat kamu. Semoga semakin sukses, Nay.” Air mataku mulai menggenang di pelupuk mata, kemudian aku membalasnya dan menyisipkan emoticon senyum sebelum menyentuh tanda send.
            Bulan demi bulan berganti, dan aku masih terdiam disini dengan perasaan yang sama, juga untuk orang yang sama. Aku berharap dia bahagia diamanapun dan dengan siapapun dia berada. Tiba-tiba lamunanku buyar dengan suara panggilan dari ponselku, ternyata ibunya Mas Alvin. Beliau memberitahuku kalau Mas Alvin sedang kritis di rumah sakit, dan dia ingin aku menemuinya. Tanpa menjawab apapun, tanganku terasa lemas hingga tak kuat menggenggam ponselku, yang seketika itu terjatuh. Aku segera bersiap-siap menuju ke rumah sakit dimana Mas Alvin dirawat. Diperjalanan aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Bukankah selama ini Mas Alvin baik-baik saja, bahkan tubuhnya sama sekali tidak menunjukkan kalau dia sakit. Apa lagi ini, Tuhan?
            Sesampai di sana, aku melihat Mas Alvin terbaring dengan segala alat medis yang terpasang di tubuhnya. Ternyata selama ini Mas Alvin mengidap penyakit jantung lemah. Bahkan keluarganya pun terlambat mengetahui hal tersebut, karena Mas Alvin tidak pernah mau merepotkan orang lain. Aku mendekatinya dengan gerimis yang mulai membasahi  pipiku. Dia tampak sangat pucat dan tubuhnya hanya bisa diam, seperti bukan dia, bibirnya mulai bergerak, “Nayla..” Dia mengucapkan namaku, dengan suaranya yang terdengar lirih. “Kenapa, Mas? Kenapa kamu tidak membiarkanku ada saat kamu membutuhkan aku? Kenapa kamu malah memilih pergi? Membiarkan dirimu  sendirian dengan semua yang kamu alami ini? Maafkan aku, Mas..” Aku langsung saja mengucapkan pertanyaan-pertanyaan ini padanya dengan air mata yang membasahi pipiku. “Masih sama aja ya, dasar cengeng.” Suaranya sangat lirih dengan sedikit senyum di bibirnya, dan sifat ngeselinnya yang masih sempat dia gunakan untuk mengejekku. “Nay, aku masih menunggu janjimu, meskipun aku pergi kamu gaboleh sedih. Dan ingat ya, ketika hujan turun anggaplah aku sedang mendatangimu, tetapi ketika hujan reda bukan berarti aku meninggalkanmu, karena aku akan tetap disini, menunggu putri cantikku ini tersenyum bersama datangnya pelangi. Sisakan sedikit tempat untukku dihatimu, karena aku tidak akan pergi jauh dari tempat itu, sisakan sedikit saja meskipun itu hanya sudut kecil.” Ujarnya yang diikuti senyum kecilnya. Aku hanya bisa menangis dengan semua perkataannya. Kata-katanya seperti menusuk jantungku, dan dadaku mulai terasa sesak karenanya. “Baiklah, Mas aku akan selalu menunggu kedatanganmu bersama hujan, dan soal tempat dihatiku, tidak perlu kamu minta, kamu akan ada disana, di tempat yang terdalam, yang hanya aku yang tahu jalannya untuk menemukanmu disana.” Tangannya yang terasa dingin perlahan menghapus air mataku, dan mulai berkata dengan lirih, “Maaf aku tidak bisa menemani perjalananmu mendapati mimpi-mimpimu, tapi aku akan selalu berada disini, dari tempatku berada untuk mendukung setiap langkahmu. Terima kasih untuk selama ini, and last I wanna say I love you, Nayla..” Kalimat terakhirnya selesai dengan senyuman dan genggaman tangannya yang terlepas dari tanganku. Ya, beginilah permainan takdir, yang tidak merasa cukup hanya dengan mengambilnya dari hidupku, takdir menginginkan yang lebih, menginginkan dia pergi dari hidup semua orang, dari dunia ini. Bahkan langitpun menangis mengikuti kepergiannya.
***
            Pada akhirnya, cinta masih seputar kisah tentangnya yang sekarang selalu menyapaku bersama turunnya hujan. Seandainya saja waktu itu aku tidak menuruti egoku, dan  berani menanyakan alasan dia yang tiba-tiba memutuskan pergi dariku. Seandainya saja aku mengetahui keadaannya waktu itu, setidaknya aku akan menemani masa-masa tersulitnya. Seandainya saja takdir menggariskan waktu yang lebih lama untuknya tinggal di dunia ini, pasti saat ini kita bisa menikmati hujan bersama-sama. Ya, seandainya saja...
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, aku langsung membuka mata dan menoleh. “Nay, 10 menit lagi kuliah dimulai, dari tadi dicariin ternyata disini.” Ujar Rena sambil terengah-engah karena kelelahan mencariku. “Maaf ya, Ren aku terlalu asyik disini sampai ga lihat jam, tadi habis dari perpus nyari bahan buat tugas.” Jelasku. “Udah ayo cepet ke kelas nanti telat, bahaya.” Kata Rena sambil menarik tanganku menuju ke kelas. 

**SELESAI**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH BAHASA INDONESIA : EYD

ASUHAN KEBIDANAN KB IMPLAN

MAKALAH KONSEP DAN DINAMIKA KEPENDUDUKAN